Hati (bahasa
Yunani: ἡπαρ, hēpar) merupakan kelenjar
terbesar di dalam tubuh,
terletak dalam rongga perut
sebelah kanan, tepatnya di bawah diafragma.
Berdasarkan fungsinya, hati juga termasuk sebagai alat ekskresi. Hal ini
dikarenakan hati membantu fungsi ginjal dengan cara memecah beberapa senyawa yang bersifat racun dan
menghasilkan amonia,
urea, dan asam urat
dengan memanfaatkan nitrogen dari asam amino.
Proses pemecahan senyawa racun oleh hati disebut proses detoksifikasi.
Lobus hati terbentuk dari sel parenkimal dan sel non-parenkimal. Sel
parenkimal pada hati disebut hepatosit, menempati sekitar 80% volume hati dan
melakukan berbagai fungsi utama hati. 40% sel hati terdapat pada lobus
sinusoidal. Hepatosit merupakan sel endodermal yang terstimulasi oleh jaringan
mesenkimal secara terus-menerus pada saat embrio hingga
berkembang menjadi sel parenkimal.Selama masa
tersebut, terjadi peningkatan transkripsi mRNA albumin sebagai stimulan proliferasi dan diferensiasi sel
endodermal menjadi hepatosit.
Lumen lobus
terbentuk dari SEC dan ditempati oleh 3 jenis sel lain, seperti sel Kupffer,
sel Ito, limfosit
intrahepatik seperti sel pit. Sel non-parenkimal menempati sekitar 6,5% volume
hati dan memproduksi berbagai substansi yang mengendalikan banyak fungsi
hepatosit.
Filtrasi
merupakan salah satu fungsi lumen lobus sinusoidal yang memisahkan permukaan
hepatosit dari darah,
SEC memiliki kapasitas endositosis
yang sangat besar dengan berbagai ligan seperti glikoprotein,
kompleks
imun, transferin
dan seruloplasmin.
SEC juga berfungsi sebagai sel presenter antigen yang
menyediakan ekspresi MHC I dan MHC II bagi sel T. Sekresi yang
terjadi meliputi berbagai sitokina, eikosanoid seperti prostanoid dan leukotriena, endotelin-1, nitrogen monoksida dan beberapa komponen ECM.
Sel Ito berada
pada jaringan perisinusoidal, merupakan sel dengan banyak vesikel lemak di dalam sitoplasma
yang mengikat SEC sangat kuat hingga memberikan lapisan ganda pada lumen lobus
sinusoidal. Saat hati berada pada kondisi normal, sel Ito menyimpan vitamin A
guna mengendalikan kelenturan matriks ekstraselular yang dibentuk dengan SEC,
yang juga merupakan kelenturan dari lumen sinusoid.
Sel Kupffer
berada pada jaringan intrasinusoidal, merupakan makrofaga
dengan kemampuan endositik dan fagositik
yang mencengangkan. Sel Kupffer sehari-hari berinteraksi dengan material yang
berasal saluran pencernaan yang mengandung larutan
bakterial, dan mencegah aktivasi efek toksin senyawa tersebut ke dalam hati.
Paparan larutan bakterial yang tinggi, terutama paparan LPS,
membuat sel Kupffer melakukan sekresi berbagai sitokina yang
memicu proses peradangan dan dapat mengakibatkan cedera pada hati.
Sekresi antara lain meliputi spesi oksigen reaktif, eikosanoid, nitrogen monoksida, karbon
monoksida, TNF-α, IL-10,
sebagai respon kekebalan turunan dalam fase infeksi primer.
Sel pit
merupakan limfosit
dengan granula besar, seperti sel NK yang
bermukim di hati. Sel pit dapat menginduksi kematian seketika pada sel tumor
tanpa bergantung pada ekspresi antigen pada kompleks histokompatibilitas utama.
Aktivitas sel pit dapat ditingkatkan dengan stimulasi interferon-γ.
Sel punca
Selain
hepatosit dan sel non-parenkimal, pada hati masih terdapat jenis sel lain yaitu
sel intra-hepatik yang sering disebut sel oval,dan hepatosit duktular. Regenerasi
hati setelah hepatektomi parsial, umumnya tidak melibatkan sel
progenitor intra-hepatik dan sel punca
ekstra-hepatik (hemopoietik), dan bergantung hanya kepada proliferasi
hepatosit. Namun dalam kondisi saat proliferasi hepatosit terhambat atau
tertunda, sel oval yang berada di area periportal akan mengalami proliferasi
dan diferensiasi menjadi hepatosit dewasa. Sel oval
merupakan bentuk diferensiasi dari sel progenitor yang berada pada area portal
dan periportal, atau kanal Hering, dan hanya
ditemukan saat hati mengalami cedera. Proliferasi
yang terjadi pada sel oval akan membentuk saluran ekskresi yang menghubungkan
area parenkima tempat terjadinya
kerusakan hati dengan saluran empedu. Epimorfin, sebuah morfogen yang banyak ditemukan
berperan pada banyak organ epitelial, nampaknya juga berperan pada pembentukan
saluran empedu oleh sel punca hepatik. Setelah itu sel
oval akan terdiferensiasi menjadi hepatosit duktular. Hepatosit duktular dianggap
merupakan sel transisi yang terkait antara lain dengan:
- metaplasia duktular dari hepatosit parenkimal menjadi epitelium biliari intra-hepatik
- konversi metaplasia dari epitelium duktular menjadi hepatosit parenkimal
- diferensiasi dari sel punca dari silsilah hepatosit
tergantung
pada jenis gangguan yang menyerang hati.
Pada model tikus dengan 70%
hepatektomi, dan induksi regenerasi hepatik dengan asetilaminofluorena-2, ditemukan bahwa sel punca
yang berasal dari sumsum tulang belakang dapat terdiferensiasi
menjadi hepatosit, dengan
mediasi hormon G-CSF sebagai kemokina dan mitogen.Regenerasi juga dapat dipicu dengan D-galaktosamina.
Sel imunologis
Hati juga
berperan dalam sistem kekebalan dengan banyaknya sel imunologis
pada sistem
retikuendotelial yang berfungsi sebagai tapis antigen yang
terbawa ke hati melalui sistem portal hati.
Perpindahan fase infeksi
dari fase primer menjadi fase akut, ditandai oleh hati dengan menurunkan
sekresi albumin dan menaikkan sekresi fibrinogen.
Fasa akut yang berkepanjangan akan berakibat pada simtoma hipoalbuminemia
dan hiperfibrinogenemia.
Pada saat
hati cedera, sel darah putih akan distimulasi untuk bermigrasi
menuju hati dan bersama dengan sel Kupffer mensekresi sitokina yang
membuat modulasi perilaku sel Ito.Sel TH1
memproduksi sitokina yang meningkatkan respon kekebalan selular seperti IFN-gamma, TNF, dan IL-2. Sel TH2
sebaliknnya akan memproduksi sitokina yang meningkatkan respon kekebalan
humoral seperti IL-4, IL-5,
IL-6,
IL-13
dan meningkatkan respon fibrosis. Sitokina yang disekresi oleh sel TH1
akan menghambat diferensiasi sel T menjadi sel TH2, sebaliknya sitokina sekresi
TH2 akan menghambat proliferasi sel TH1. Oleh sebab itu
respon kekebalan sering dikatakan terpolarisasi ke respon kekebalan selular
atau humoral, namun belum pernah keduanya.
Fungsi hati
Berbagai
jenis tugas yang dijalankan oleh hati, dilakukan oleh hepatosit. Hingga saat
ini belum ditemukan organ lain atau organ buatan atau peralatan yang mampu
menggantikan semua fungsi hati. Beberapa fungsi hati dapat digantikan dengan
proses dialisis hati, namun
teknologi ini masih terus dikembangkan untuk perawatan penderita gagal hati.
Sebagai kelenjar, hati
menghasilkan:
- empedu yang mencapai ½ liter setiap hari. Empedu merupakan cairan kehijauan dan terasa pahit, berasal dari hemoglobin sel darah merah yang telah tua, yang kemudian disimpan di dalam kantong empedu atau diekskresi ke duodenum. Empedu mengandung kolesterol, garam mineral, garam empedu, pigmen bilirubin, dan biliverdin. Sekresi empedu berguna untuk mencerna lemak, mengaktifkan lipase, membantu daya absorpsi lemak di usus, dan mengubah zat yang tidak larut dalam air menjadi zat yang larut dalam air. Apabila saluran empedu di hati tersumbat, empedu masuk ke peredaran darah sehingga kulit penderita menjadi kekuningan. Orang yang demikian dikatakan menderita penyakit kuning.
- sebagian besar asam amino
- faktor koagulasi I, II, V, VII, IX, X, XI
- protein C, protein S dan anti-trombin
- kalsidiol
- trigliserida melalui lintasan lipogenesis
- kolesterol
- insulin-like growth factor 1 (IGF-1), sebuah protein polipeptida yang berperan penting dalam pertumbuhan tubuh dalam masa kanak-kanak dan tetap memiliki efek anabolik pada orang dewasa.
- enzim arginase yang mengubah arginina menjadi ornitina dan urea. Ornitina yang terbentuk dapat mengikat NH³ dan CO² yang bersifat racun.
- trombopoietin, sebuah hormon glikoprotein yang mengendalikan produksi keping darah oleh sumsum tulang belakang.
- Pada triwulan awal pertumbuhan janin, hati merupakan organ utama sintesis sel darah merah, hingga mencapai sekitar sumsum tulang belakang mampu mengambil alih tugas ini.
- albumin, komponen osmolar utama pada plasma darah.
- angiotensinogen, sebuah hormon yang berperan untuk meningkatkan tekanan darah ketika diaktivasi oleh renin, sebuah enzim yang disekresi oleh ginjal saat ditengarai kurangnya tekanan darah oleh juxtaglomerular apparatus.
- enzim glutamat-oksaloasetat transferase, glutamat-piruvat transferase dan laktat dehidrogenase
Selain
melakukan proses glikolisis dan siklus asam sitrat seperti sel pada umumnya,
hati juga berperan dalam metabolisme karbohidrat yang lain:
- Glukoneogenesis, sintesis glukosa dari beberapa substrat asam amino, asam laktat, asam lemak non ester dan gliserol. Pada manusia dan beberapa jenis mamalia, proses ini tidak dapat mengkonversi gliserol menjadi glukosa. Lintasan dipercepat oleh hormon insulin seiring dengan hormon tri-iodotironina melalui pertambahan laju siklus Cori.
- Glikogenolisis, lintasan katabolisme glikogen menjadi glukosa untuk kemudian dilepaskan ke darah sebagai respon meningkatnya kebutuhan energi oleh tubuh. Hormon glukagon merupakan stimulator utama kedua lintasan glikogenolisis dan glukoneogenesis menghindarikan tubuh dari simtoma hipoglisemia. Pada model tikus, defisiensi glukagon akan menghambat kedua lintasan ini, namun meningkatkan toleransi glukosa. Lintasan ini, bersama dengan lintasan glukoneogenesis pada saluran pencernaan dikendalikan oleh kelenjar hipotalamus.
- Glikogenesis, lintasan anabolisme glikogen dari glukosa.
dan pada
lintasan katabolisme:
- degradasi sel darah merah. Hemoglobin yang terkandung di dalamnya dipecah menjadi zat besi, globin, dan heme. Zat besi dan globin didaur ulang, sedangkan heme dirombak menjadi metabolit untuk diekskresi bersama empedu sebagai bilirubin dan biliverdin yang berwarna hijau kebiruan. Di dalam usus, zat empedu ini mengalami oksidasi menjadi urobilin sehingga warna feses dan urin kekuningan.
- degradasi insulin dan beberapa hormon lain.
- degradasi amonia menjadi urea
- degradasi zat toksin dengan lintasan detoksifikasi, seperti metilasi.
Hati juga
mencadangkan beberapa substansi, selain glikogen:
- vitamin A (cadangan 1–2 tahun)
- vitamin D (cadangan 1–4 bulan)
- vitamin B12 (cadangan 1-3 tahun)
- zat besi
- zat tembaga.
Regenerasi sel hati
Kemampuan
hati untuk melakukan regenerasi merupakan suatu proses yang sangat penting agar
hati dapat pulih dari kerusakan yang ditimbulkan dari proses detoksifikasi
dan imunologis. Regenerasi tercapai dengan interaksi yang sangat kompleks
antara sel yang terdapat dalam hati, antara lain hepatosit, sel Kupffer,
sel endotelial sinusoidal, sel Ito dan sel punca;
dengan organ
ekstra-hepatik, seperti kelenjar tiroid, kelenjar
adrenal, pankreas,
duodenum, hipotalamus.
Hepatosit,
adalah sel yang sangat unik. Potensi hepatosit untuk melakukan proliferasi,
muncul pada saat-saat terjadi kehilangan massa sel,yang
disebut fase prima atau fase kompetensi replikatif
yang umumnya dipicu oleh sel Kupffer melalui sekresi sitokina IL-6
dan TNF-α. Pada fase ini, hepatosit memasuki
siklus sel
dari fase G0 ke fase G1.
TNF-α dapat
memberikan efek proliferatif atau apoptotik, bergantung pada spesi oksigen reaktif dan glutathion,
minimal 4 faktor transkripsi diaktivasi sebelum hepatosit
masuk ke dalam fase proliferasi, yaitu NF-κB, STAT-3, AP-1 dan C/EBP-beta.Proliferasi
hepatosit diinduksi oleh stimulasi sitokina HGF dan TGF-α,
dan EGF
dengan dua lintasan. HGF, TGF-α, dan EGF merupakan faktor pertumbuhan yang
berasal dari substrat
serina dan protein logam yang
menginduksi sintesis
DNA. Lintasan
pertama adalah lintasan IL-6/STAT-3 yang berperan dalam siklus sel
melalui siklin D1/p21 dan
perlindungan sel dengan peningkatan rasio FLIP,
Bcl-2, Bcl-xL, Ref1, dan MnSOD. Lintasan kedua adalah lintasan PI3-K/PDK-1/Akt yang
mengendalikan ukuran sel melalui molekul mTOR, selain sebagai zat anti-apoptosis dan
antioksidan.
Hormon tri-iodotironina,
selain menurunkan kadar kolesterol pada hati juga
memiliki kapasitas dalam proliferasi hepatosit sebagai mitogen yang berperan
pada siklin D1,
mempercepat konsumsi
O2
oleh mitokondria
dengan mengaktivasi transkripsi pada gen pernafasen hingga meningkatkan
produksi spesi oksigen reaktif. Sekresi ROS ke dalam sitoplasma
hepatosit akan mengaktivasi faktor transkripsi NF-κB.[28] Pada sel Kupffer,
ROS dalam sitoplasma, akan mengaktivasi
sekresi sitokina
TNF-α, IL-6
dan IL-1
untuk disekresi. Ikatan yang terjadi antara ketiga sitokina ini dengan
hepatosit akan menginduksi ekspresi pencerap enzim antioksidan,
seperti mangan
superoksida dismutase, i-nitrogen
monoksida sintase, protein anti-apoptosis
Bcl-2, haptoglobin
dan fibrinogen-β
yang diperlukan hepatosit dalam proliferasi. Stres
oksidatif yang dapat ditimbulkan oleh ROS maupun kerusakan yang dapat
ditimbulkan oleh berbagai sitokina, dapat dilenyapkan dengan asupan tosoferol
(100 mg/kg) atau senyawa penghambat gadolinium klorida (10 mg/kg) seperti yang
dimiliki oleh sel Kupffer, sebelum stimulasi hormon tri-iodotironina,sedangkan
laju proliferasi hepatosit dikendalikan oleh kadar etanolamina
sebagai faktor
hepatotrofik humoral.
Kemampuan
hati untuk melakukan regenerasi telah diketahui semenjak zaman Yunani kuno dari
cerita mitos
tentang seorang titan
yang bernama Prometheus.Kemampuan ini dapat sirna, hingga
hepatosit tidak dapat masuk ke dalam siklus sel, walaupun kehilangan sebagian
massanya, apabila terjadi fibrosis hati. Lintasan fibrosis yang tidak segera
mendapat perawatan, lambat laun akan berkembang menjadi sirosis
hati dan mengharuskan
penderitanya untuk menjalani transplantasi hati atau
hepatektomi
demi kelangsungan hidupnya.
Regenerasi
hati setelah hepatektomi parsial merupakan proses yang sangat rumit di bawah
pengaruh perubahan hemodinamika, modulasi sitokina,
hormon faktor pertumbuhan dan aktivasi faktor transkripsi, yang mengarah pada proses mitosis. Hormon PRL yang disekresi oleh kelenjar hipofisis
menginduksi respon hepatotrofik sebagai mitogen yang
berperan dalam proses proliferasi dan diferensiasi.PRL
memberi pengaruh kepada peningkatan aktivitas faktor transkripsi yang berperan dalam
proliferasi sel, seperti AP-1, c-Jun dan STAT-3; dan
diferensiasi dan terpeliharanya metabolisme, seperti C/EBP-alfa,
HNF-1, HNF-4 dan HNF-3. c-Jun merupakan salah satu protein penyusun AP-1.Induksi NF-κB pada fase ini diperlukan
untuk mencegah apoptosis dan memicu derap siklus sel
yang wajar.Pada masa ini, peran retinil
asetat menjadi sangat vital, karena fungsinya yang menambah massa DNA dan protein yang
dikandungnya.
Penyakit pada hati
Hati
merupakan organ yang menopang kelangsungan hidup hampir seluruh organ lain di
dalam tubuh. Oleh karena lokasi yang sangat strategis dan fungsi
multi-dimensional, hati menjadi sangat rentan terhadap datangnya berbagai penyakit. Hati
akan merespon berbagai penyakit tersebut dengan meradang, yang disebut hepatitis
Seringkali
hepatitis dimulai dengan reaksi radang patobiokimiawi yang disebut fibrosis
hati,
dengan simtoma
paraklinis berupa peningkatan rasio plasma
laminin,
sebuah glikoprotein
yang disekresi sel
Ito, asam hialuronat dan sejenis aminopeptida yaitu prokolagen tipe
III,dan CEA.Fibrosis
hati dapat disebabkan oleh rendahnya rasio plasma HGF,atau
karena infeksi viral, seperti hepatitis B, patogen yang disebabkan oleh infeksi akut
sejenis virus
DNA yang memiliki fokus infeksi berupa templat transkripsi
yang disebut cccDNA yang termetilasi, atau hepatitis C,
patogen serupa hepatitis B yang disebabkan oleh infeksi virus RNA dengan fokus infeksi
berupa metilasi
DNA, terutama melalui mekanisme ekspresi
genetik berkas GADD45B, sehingga
mengakibatkan siklus sel hepatosit menjadi tersendat-sendat.
Fibrosis
hati memerlukan penangan sedini mungkin, seperti pada model tikus, stimulasi
proliferasi hepatosit akan meluruhkan fokus infeksi virus hepatitis B, sebelum
berkembang menjadi sirosis hati atau karsinoma
hepatoselular. Setelah terjadi kanker hati, senyawa
siklosporina
yang memiliki potensi untuk memicu proliferasi hepatosit, justru akan
mempercepat perkembangan sel kanker, oleh
karena sel kanker mengalami hiperplasia hepatik, yaitu
proliferasi yang tidak disertai aktivasi faktor transkripsi genetik. Hal ini dapat
diinduksi dengan stimulasi timbal nitrat (LN, 100 mikromol/kg), siproteron
asetat (CPA, 60 mg/kg), dan nafenopin (NAF, 200 mg/kg).
Hepatitis
juga dapat dimulai dengan defisiensi mitokondria
di dalam hepatosit,
yang disebut steatohepatitis. Disfungsi
mitokondria akan berdampak pada homeostasis
senyawa lipid dan
peningkatan rasio spesi oksigen reaktif yang menginduksi TNF-α. Hal ini akan berlanjut pada
pengendapan lemak,
stres
oksidatif dan peroksidasi lipid,serta membuat mitokondria menjadi rentan terhadap kematian oleh nekrosis akibat rendahnya rasio ATP dalam matrik mitokondria, atau oleh apoptosis
melalui pembentukan apoptosom dan peningkatan permeabilitas membran
mitokondria dengan mekanisme Fas/TNF-α. Permintaan energi yang tinggi
pada kondisi ini menyebabkan mitokondria tidak dapat memulihkan cadangan ATP hingga dapat memicu sirosis
hati, sedangkan peroksidasi lipid akan menyebabkan kerusakan pada DNA mitokondria dan
membran mitokondria sisi dalam yang disebut sardiolipin, dengan
peningkatan laju oksidasi-beta asam lemak, akan terjadi akumulasi elektron pada respiratory
chain kompleks I dan III yang menurunkan kadar antioksidan.
Sel
hepatosit apoptotik akan dicerna oleh sel Ito menjadi
fibrinogen
dengan reaksi fibrogenesis setelah
diaktivasi oleh produk dari peroksidasi lipid dan rasio leptin yang tinggi.
Apoptosis kronis kemudian dikompensasi dengan peningkatan laju proliferasi
hepatosit, disertai DNA
yang rusak oleh disfungsi mitokondria, dan menyebabkan mutasi genetik dan
kanker.
Pada model tikus, melatonin
merupakan senyawa yang menurunkan fibrosis
hati, sedang pada model kelinci, kurkumin merupakan senyawa
organik yang menurunkan paraklinis steatohepatitis,sedang hormon serotonin dan
kurangnya asupan metionina dan kolina memberikan efek sebaliknya dengan resistansi adiponektin.
Disfungsi
mitokondria juga ditemukan pada seluruh patogenesis
hati, dari kasus radang hingga kanker dan transplantasi. Pada kolestasis kronik, asam ursodeoksikolat bersama dengan GSH
bersinergis sebagai antioksidan yang melindungi sardiolipin dan fosfatidil serina hingga
mencegah terjadinya sirosis hati.
Pengaruh alkohol
Alkohol
dikenal memiliki fungsi immunosupresif terhadap sistem kekebalan tubuh, termasuk meredam
ekspresi kluster diferensiasi CD4+ dan CD8+ yang diperlukan dalam
pertahanan hati terhadap infeksi viral, terutama HCV. Alkohol juga meredam
rasio kemokina
IFN pada
lintasan transduksi sinyal selular, selain
meningkatkan resiko terjadinya fibrosis.
Banyak lintasan metabolisme memberikan kontribusi
terhadap alkohol untuk menginduksi stres
oksidatif. Salah satu lintasan metabolisme yang sering diaktivasi oleh
etanol adalah induksi enzim sitokrom
P450 2E1. Enzim ini menimbulkan spesi oksigen reaktif seperti radikal anion
superoksida dan hidrogen peroksida, serta mengaktivasi subtrat
toksik termasuk etanol menjadi produk yang lebih reaktif dan toksik. Sel
dendritik tampaknya merupakan sel yang paling terpengaruh oleh kandungan etanol di dalam
alkohol. Pada percobaan menggunakan model tikus, etanol
meningkatkan rasio plasma IL-1β,
IL-6,
IL-8,
TNF-α, AST, ALT, ADH, γ-GT, TG, MDA dan meredam rasio IL-10,
GSH, faktor transkripsi NF-κB dan AP-1.
Pengaruh alkaloid
Kopi, salah satu
kompleks senyawa alkaloid dari
golongan purina xantina dengan asam
klorogenat dan lignan, pada studi epidemiologis,
disimpulkan sebagai salah satu faktor penurun risiko terjadinya diabetes
mellitus tipe 2, penyakit Parkinson, sirosis
hati dan karsinoma hepatoselular, dan perbaikan toleransi glukosa.
Konsumsi kopi secara kronis terbukti tidak menyebabkan tekanan darah tinggi namun secara akut
mengakibatkan peningkatan tekanan darah sementara dalam selang waktu singkat, dan plasma
homosisteina
sehingga dapat menjadi ancaman bagi penderita gangguan kardiovaskular
Konsumsi
kopi secara teratur dapat menurunkan rasio enzim ALT serta aktifitas enzimatik pada lintasan
metabolisme hati,
yang sering disebabkan oleh infeksi viral, induksi obat-obatan, keracunan, kondisi iskemik, steatosis (akibat alkohol,
diabetes, obesitas), penyakit otoimun, dan resistansi insulin, sindrom metabolisme, dan
kelebihan zat besi. Selain ALT, kopi juga menurunkan enzim hati yang lain,
yaitu gamma-GT dan alkalina fosfatase. dan
memberikan efek antioksidan dan detoksifikasi fase II oleh karena senyawa diterpena, kafestol dan kahweol, sehingga mencegah
terjadinya proses karsinogenesis. Proses
tersebut disertai dengan gamma-GT sebagai indikator utama.
Transplantasi hati
Teknologi
transplantasi hati merupakan hasil yang dikembangkan dari penelitian pada
beberapa bidang studi kedokteran. Pada tahun 1953, Billingham, Brent, dan Medawar menemukan bahwa toleransi
kimerismedapat diinduksi oleh infus sel hematolimfopoietik
donor pada model tikus.
Pada tahun
1958 studi canine mengembangkan suatu teori mengenai molekul
hepatotrofik pada portal pembuluh balik pada hati dan menemukan hormon insulin sebagai
faktor hepatotrofik utama dari beberapa faktor lain yang ada. Pada saat yang
hampir bersamaan teori mengenai transplantasi multiviseral dan hati juga
berkembang dari studi imunosupresi yang mempelajari
algoritma empiris dari pengenalan pola dan respon terapis. Pada awal 1960,
dibuktikan bahwa canine dan allograft manusia memiliki toleransi
kimersime yang dapat terinduksi otomatis dengan bantuan imunosupresi, hingga
pada akhir 1962 disimpulkan dengan keliru, bahwa transplantasi melibatkan dua sistem
kekebalan yang berbeda. Konsekuensi kesimpulan tersebut menjadi dogma bahwa tolerogenisitas hati, pada
dasarnya, berbeda, tidak hanya dengan sumsum tulang belakang, tetapi dengan
seluruh organ tubuh yang lain. Kekeliruan ini tidak terkoreksi dengan baik
hingga tahun 1990.
Transplantasi
hati yang pertama dilakukan di Denver pada tahun 1963, keberhasilan pertama tercatat pada
tahun 1967 dengan azatioprina, prednison dan globulin anti-limfoid, oleh Thomas E. Starzl dari Amerika
Serikat, disusul oleh keberhasilan transplantasi sumsum tulang belakang
manusia pada tahun 1968. Rentang waktu antara 1967 hingga 1979 mencatat 84 kali
transplantasi hati pada anak dengan 30% daya tahan hidup hingga 2 tahun.
Perkembangan
studi imunosupresi kemudian memberikan perbaikan dan harapan hidup lebih
panjang bagi pasien, antara lain dengan pergantian azatioprina dengan siklosporina
pada tahun 1979, lalu tergantikan dengan takrolimus
pada tahun 1989.
Pada tahun
1992, dikembangkan teori mikrokimerisme
leukosit donor dengan cakupan donor dari silsilah berlainan,
yang memberikan harapan hidup yang sangat panjang bagi penerima donor organ,
setelah diketahui hubungan antara aspek imunologis dari transplantasi, infeksi,
toleransi oleh sumsum tulang belakang, neoplasma dan kelainan otoimun,
yang disebut sebagai mekanisme seminal.
Respon kekebalan dan toleransi kekebalan antara organ donor dan tubuh ditemukan
merupakan fungsi dari migrasi dan lokalisasi leukosit. Salah
satu temuan adalah aktivasi sistem kekebalan turunan oleh sel NK dan interferon-γ
segera setelah transplantasi selesai dilakukan.Pada model
tikus, sel
hepatosit donor ditemukan bersifat sangat antigenik
sehingga memicu respon penolakan, yang dapat dilakukan secara mandiri atau
bersama-sama antara sel T CD4 dan sel T CD8.
Untuk itu
diperlukan terapi imunosupresif
yang intensif sebelum transplantasi dilakukan, yang disebut preparative
regimen atau conditioning untuk mencegah penolakan organ donor oleh sistem
kekebalan inang. Terapi imunosupresif tersebut ditujukan untuk menekan sel T dan sel NK inang guna
memberikan ruang di dalam sumsum tulang belakang untuk transplantasi
sel punca hematopoietik dari organ donor melalui terapi mielosupresif,
untuk keseimbangan repopulasi sel donor dengan sel hasil diferensiasi dari sel
punca inang.
Dewasa ini,
transplantasi hati dilakukan hanya pada saat hati telah memasuki jenjang akhir
suatu penyakit, atau telah terjadi disfungsi akut yang disebut fulminant
hepatic failure. Kasus transplantasi hati pada manusia umumnya disebabkan
oleh sirosis
hati akibat dari hepatitis C kronis, ketergantungan alkohol, hepatitis
otoimun dll.
Teknik umum
yang digunakan adalah transplantasi
ortotopik, yaitu penempatan organ donor pada posisi anatomik yang sama
dengan posisi awal organ sebelumnya. Transplantasi hati berpotensi dapat
diterapkan, hanya jika penerima organ donor tidak memiliki kondisi lain yang
memberatkan, seperti kanker metastatis di luar organ hati,
ketergantungan pada obat-obatan atau alkohol. Beberapa ahli berpedoman pada kriteria Milan untuk
seleksi pasien transplantasi hati.
Organ donor,
disebut allograft, biasanya berasal dari manusia lain yang baru saja
meninggal dunia akibat cedera otak traumatik (kadaverik). Teknik transplantasi
lain menggunakan organ manusia yang masih hidup, operasi hepatektomi
mengangkat 20% hati pada segmen Coinaud 2 dan 3 dari orang dewasa untuk
didonorkan kepada seorang anak, pada tahun 1989.
SUMBER :wikimedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar